Perantauan Pertama
Wednesday, July 24, 2019
Waktu itu, tahun 2015, saya ini, nggak pernah tinggal di perantauan. 24 tahun lamanya tinggal bareng orang tua dan untuk pertama kalinya dihadapkan pada kenyataan untuk tinggal berjauhan, selama 2 bulan. Apakah karena nasib? Bukan, karena pilihan sendiri. Jadi di tahun tersebut saya lagi menjalani kuliah profesi dan sampailah pada waktunya untuk masuk ke Program Kerja Profesi Apoteker (PKPA) semacam PKL kalau buat anak SMK atau magang lah ya. Karena saya ambil jurusan industri, berarti salah satu PKPA yang saya jalani adalah praktek di industri farmasi.
Sudah rahasia umum ya, Jogja tempat saya tinggal seumur hidup (saat itu) dan tempat kuliah saya dulu nggak banyak industri farmasinya. Alhasil haruslah kami keluar kota untuk bisa ikut praktek kerja. Sebenarnya paling deket adalah daerah Solo atau Semarang, tapi namanya saya daripada nanggung keluar kotanya, Bandung jadi kota pilihan. Nah, buat bisa terkabul PKPA di Bandung, saya dan sahabat saya menulis surat ke bagian akademik yang mana saya lupa alasannya, tapi intinya kami pengen PKPA di sana. Dan beneran dong dapet keputusan buat PKPA di Bandung.
Salah satu momen bahagia di Bandung |
Perantauan pertamapun dimulai. Rasanya...
Berat...
Bagi saya yang nggak pernah jauh dari orang tua, pertama kalinya tinggal tanpa mereka rasanya nggak biasa. Padahal kalau di rumah ya sebenernya lebih sering di kampus, sampai rumah berasa kayak kosan. Pulang cuma buat tidur. Tapi yang pertama kali bikin kaget adalah harga makanannya. Harga makanan yang rasanya jauh berbeda dengan Jogja emang bikin mikir mau makan apa, sehari mau makan berapa kali. And I made myself eating only 2 times a day, only for saving! Hahaha. Sampai akhirnya sempet beli bahan juga buat masak sendiri (alhamdulillah di kosan ada dapur), jadi bisa lumayan berhemat. Saat yang 'agak' melegakan adalah pas weekday ketika praktek kerja, karena saya bisa makan 3 kali sehari, soalnya dapet makan siang di tempat praktek. Sebenarnya bukan karena orang tua saya ngasih uang sakunya nggak cukup lho, tapi emang beneran karena kaget. Kalau kata temen sih, ya jelas jangan bandingin harga Jogja sama harga kota lain, apalagi Bandung. Nulis ini sekarang bikin geleng-geleng kepala deh serius, wkwkwk and I find myself laughing right now. What a pity of me those days!
Culture shock kayaknya jadi penyebab kedua.
Kebetulan, partner PKPA saya bukan sahabat saya. Sahabat saya praktek kerja di industri yang beda dengan saya dan tempatnya jauh. Partner PKPA saya background kehidupannya berbeda dengan saya. I would say dia sudah biasa hidup di perantauan (karena dia berasal dari luar jawa) dan kuliah di Jogja. Selain itu, sepertinya memang dia sering keluar kota seperti Jakarta atau Bandung atau kota lain yang saya nggak tau. Selain itu juga, dia sepertinya berasal dari keluarga yang memang punya. Tapi dari dia, saya jadi tau beberapa merk ternama yang ada di Indonesia, karena beberapa kali saya nemenin dia ke Mall PVJ (Paris van Java) dan rasanya saya berasa asisten dia yang hanya mengikutinya karena tidak sanggup belanja (setelah melihat harga barangnya). Sampai beberapa kali dia bertanya, "kamu nggak belanja?" sampai akhirnya mungkin dia ngeh kalau saya tidak terbiasa dan pertanyaannya berganti dengan informasi merk mahal yang mana, merk yang termasuk murah yang mana. Dan saya bersyukur akan itu, jadi setelah saat itu, saya punya pengetahuan baru. Yaa, walaupun nggak beli merk-merk yang disebutkan itu juga. Waktu itu (sampai sekarang sih), saya masih merasa nyaman dengan baju yang harganya 50 ribuan atau baju matahari mall sudah cukup memuaskan.
Lanjut...
Tapi dari partner sekosan dan sekamar saya itu juga, saya jadi mengerti wajibnya saya punya pengalaman pergi keluar kota. Beberapa kali saat weekend datang biasanya dia pergi ke tempat saudaranya di kota lain dan saya sendirian di Bandung. Pada akhirnya saya punya ide untuk pergi juga ke Cikarang, tempat kakak dan kakak ipar saya tinggal. Ide itu saya infokan ke dia dan dia bilang, "Pergi aja, biar nggak kayak katak di dalam tempurung."
Huahahahaha dan jleb jleb jleb jleb rasanya dibilang seperti itu. But I was and I am really grateful since that day forward.
Saking makjleb-nya itu omongan, akhirnya saya beneran ke Cikarang. Sendirian. Naik angkot dari Bandung sampai ke pintu tol Pasteur. Berbekal dengan informasi angkot dari Teteh Kamar sebelah dan info bus dari kakak, berangkatlah saya. Itu pertama kalinya saya pergi sendiri, di kota yang saya nggak pernah familiar, ke kota lain yang saya lebih nggak familiar lagi. Angkot yang saya naiki lewat jalan yang belum pernah saya lewati sebelumnya dan seperti bukan jalan yang seharusnya dilewati. I caught a glimpse of my face in the angkot's rearview mirror and seemed to be crying. I still remember that look until now. Betapa menyedihkannya saya saat itu tapi bersyukurnya saya saat ini karena saya punya pengalaman itu. Ketenangan baru ada setelah saya sampai di pintu tol Pasteur dan saya naik bus Primajasa menuju Cikarang. Pulangnya? Saya muter otak biar muka nggak kayak orang ilang dan nggak kayak orang nangis gitu. Eyeliner dan masker jadi kunci masalah waktu itu, jadi mata saya terlihat lebih tegas, sedangkan sebagian wajah saya yang lain tak terlihat. Dan berhasil!
Penyebab ketiga, sepertinya rindu keluarga...
Ketika kita jauh dari orang tua, sebenarnya kita lebih menghargai arti kebersamaan dengan mereka. Memang benar. Keluarga saya (Bapak, Ibu, adik saya, dan budhe) sempat menjenguk saya. Mengajak saya berlibur dan mengunjungi kakak saya di Cikarang. Menyenangkan, membahagiakan. Itu yang saya rasakan. Tapi ketika mereka pamit pulang, tanpa sadar saya menangis sesenggukan. Di depan kosan sambil pelukan. Diam sebentar. Tapi lanjut lagi nangis di kamar kosan. Cengeng beneran.
Tapi semua cerita itu, yang membentuk saya sekarang. Eh tapi sebenarnya cerita saya di sana nggak cuma yang menyedihkan doang. Cerita ini yang pengen saya ceritakan, biar besok saya ingat kalau saya juga berkembang.
saya,
yang sedang overthinking
0 comments